Pages

Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Senin, 20 Mei 2013

Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pasal 27 ayat 3 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
By Sam Ardi*
Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menuai kontroversi. Aparat penegak hukum dengan mudahnya menggunakan pasal tersebut untuk mendakwa seseorang yang dianggap mencemarkan diri pribadi orang lain dalam ranah internet. Bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3 UU ITE)1.
Juncto
(1)“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)2. (Pasal 45 ayat 1 UU ITE)
Di dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.
Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:
1. Perbuatan:
  • Mendistribusikan
  • Mentransmisikan
  • Membuat dapat diaksesnya.
2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
Unsur subyektifnya adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”. Ketiga perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi dan/atau dokumen elektronik tidak dapat diketemukan penjelasannya di dalam UU ITE tersebut baik dari sisi yuridis maupun sisi IT.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengetahui bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE dapat dipakai dalam kasus penghinaan di dalam ranah internet sedangkan tidak ada penjelasan tersendiri terhadap pasal ini. Permasalahan ini sempat menjadi polemik dikemudian hari setelah pengundangan UU ITE. Kasus pertama dari UU ITE ini adalah kasus pencemaran nama baik oleh seorang jurnalis bernama Narliswandi Piliang atau biasa disebut dengan Iwan Piliang kepada Alvien Lie seorang anggota DPR melalui milis Forum Pembaca Kompas. Berdasarkan laporan Alvien Lie kepada polisi tersebut pada tanggal 25 November 2008 Iwan Piliang menggugat pasal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang didukung oleh Masyarakat Telematika (MASTEL) dan Asosisasi Pengusaha Warnet dan Komunitas Telematika (Apwkomitel). Tak hanya itu saja, pada 5 Januari 2009 Edy Cahyono, Nenda Inasa Fadhilah, Amrie Hakim, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) menggugat pula Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Adapun bunyi putusan terhadap gugatan dari Iwan Piliang adalah sebagai berikut:
  • Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku pemohon;
  • Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo;
  • Norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum;
  • Dalil-dalil para Pemohon tidak tepat dan tidak beralasan hukum.
e. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia:
Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.3
Adapun bunyi putusan oleh legal standing kedua dari pers adalah sebagai berikut:
Materi muatan ayat dan pasal undang-undangan yang dimohonkan pengujiannya sama dengan materi, muatan, ayat, atau pasal undang-undang yang telah diperiksa, diadili, dan diputus dalam perkara Nomor 50/PUU-VI/2008 yang amarnya berbunyi “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”, oleh karenanya permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
e. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.4
Salah satu pertimbangan dari majelis hakim MK saat itu adalah bahwa sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak mengatur kaidah hukum baru, melainkan hanya mempertegas penghinaan di dalam KUHP dengan tambahan ranah internet. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik dari polemik terhadap Pasal 27 ayat 3 UU ITE pada awal pengundangannya adalah bahwa unsur-unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE haruslah mengacu kepada unsur-unsur penghinaan/pencemaran nama baik pada KUHP dengan tambahan sarana internet sebagai medianya.
Selang beberapa setelah judicial review, Prita Mulyasari menjadi korban dari Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Adapun menurut jaksa penuntut umum (selanjutnya disebut JPU) di dalam surat dakwaanya mendakwa Prita Mulyasari sebagai berikut:
Terdakwa PRITA MULYASARI pada tanggal 15 Agustus 2008 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Agustus 2008, bertempat di Rumah Sakit Internasional Bintaro Tangerang atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tanggerang, yang memenuhi unsur dalam pasal 27 ayat (3) yaitu dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan  dan/atau pencemaran nama baik yaitu dr. Hengky Gosal, Sp.PD dan dr. Grace H. Yarlen Nela… Selanjutnya terdakwa mengirim E-Mail tersebut melalui alamat email “Prita Mulyasari @ yahoo.com” ke sejumlah orang yang berjudul “Penipuan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang” yang isinya antara lain “Saya informasikan juga dr. Hengky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini” dan “Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggungjawab masalah Komplain saya ini tidak profesional sama sekali” dan Tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer.5
Dari kutipan surat dakwaan diatas, sebenarnya kita dapat melihat bahwasanya Prita Mulyasari awalnya mengirimkan email dia ke sejumlah orang terdekatnya. Email tersebut berisi keluh-kesah dirinya atas pelayanan yang kurang profesional dari dokter rumah sakit tersebut. Permasalahan selanjutnya yang timbul adalah, bagaimana email Prita dapat tersebar ? atau siapakah yang menyebarkan email Prita kepada temannya tersebut ke ranah publik ?,  sampai detik ini tidak dapat ditelusuri siapa yang menyebarkan email tersebut.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE mensyaratkan bahwa yang dapat dikenai pidana adalah seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka seharusnya kejaksaan negeri Tangerang saat itu tidak melanjutkan kasus heboh ini ke pengadilan karena Berita Acara Pemeriksaan (selanjutnya disebut BAP) dari Polda Metro Jaya adalah mengandung cacat yuridis. Bayangkan saja, bagaimana jadinya negeri ini jika aparat penegak hukumnya tidak dapat memahami rumusan pasal ? ketidak profesionalan kejaksaan negeri Tangerang ditandai dengan pencopotan kepala Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kasus kedua yang tak kalah hebohnya adalah kasus pencemaran nama baik oleh Luna Maya dalam akun Twitternya. Adapun tweet dari Luna Maya berbunyi sebagai berikut:
Infotemnt derajatnya lebih hina dari pada pelacuran, pembunuhan, may ur soul burn in hell
Tweet dari Luna Maya sendiri mengakibatkan beberapa oknum wartawan melaporkannya ke aparat untuk ditindak lanjuti, dan ironisnya adalah pasal yang digunakan oleh beberapa oknum wartawan itu adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang pada awal pengundangan dahulu mereka tolak habis-habisan. Luna Maya sendiri tidak dapat dikenai pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dikarenakan beberapa hal:
  • Infotainment bukan merupakan subyek hukum di dalam KUHP karena yang dimaksudkan oleh Luna Maya merupakan pekerja infotainment, dan pekerja infortainment dalam konteks kala itu adalah bersifat komunal.
  • Obyek penghinaan di dalam KUHP adalah diri pribadi seseorang. Diri pribadi seseorang tentu saja menyangkut nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin dan data pribadi lainnya. Infortainment sendiri tidak termasuk diri pribadi, lain halnya jika Luna Maya menyebut nama tertentu “wartawan infortainment si Donbu derajatnya lebih rendah dari…”
Bercermin pada 2 kasus diatas, hendaknya sebagai seorang netter dan blogger harus lebih waspada dalam memosting artikel ataupun tweet atau apa saja pada akun social media di internet agar tidak menjadi korban keganasan Pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar