Tulisan ini ditujukan untuk meluruskan pemahaman tentang keberadaan Majelis Pemerintahan Gerakan Aceh Merdeka (MP-GAM). Sangat disesalkan, ambisi-ambisi kekuasaan beberapa orang yang berada dilingkaran gerakan perjuangan telah menyebabkan terjadinya pertikaian antar sesama petinggi GAM.
Bahkan orang yang tidak bersalah pun ikut menjadi korban fitnah tersebut. Tulisan ini tidak ditujukan untuk membuka aib orang lain, apalagi hal itu menyangkut tentang eksistensi kawan seperjuangan.
Tetapi mengingat adanya kesimpang-siuran sejarah yang sengaja diciptakan, yang boleh jadi akibat dari infiltrasi kepentingan-kepentingan asing guna mengacaukan konsolidasi internal, maka tulisan ini kiranya perlu saya tuliskan. Konon lagi saat ini, berita-berita fiktif itu telah berkembang dalam masyarakat Aceh, dan belum ada pihak yang memiliki otoritas sejarah yang berani meluruskannya. Almarhum Tgk Hasan M. di Tiro pernah berpesan ”sesuatu yang salah akan dianggap benar, bila kebanyakan orang mengatakan itu benar, sebaliknya kebenaran yang diketahui harus ditegakkan meskipun kita hanya seorang diri”
.Sedikit flash back, MP-GAM adalah organ yang dibentuk di Kuala Lumpur pada tahun 1999, oleh para senior GAM yang masih setia kepada perjuangan. Inisiatif pembentukan majelis ini merupakan sikap antisipatif mengingat kondisi kesehatan Wali yang mulai menurun akibat terkena stroke pada Agustus 1997, ditambah lagi dengan fakta rancunya konsolidasi perjuangan setelah diambil alih oleh Malik Mahmud
Malik telah menyingkirkan relatif 90% para loyalis perjuangan di Stockholm dan Malaysia, termasuk diantaranya Panglima Angkatan Darat Tgk. M. Daud Husin. Beberapa tokoh penting generasi awal sudah tidak lagi mendapat tempat. Sebaliknya Malik pun mulai membangun hegemoni kekuasaannya bersama orang-orang yang relatif mudah dikendalikannya. Secara tidak langsung, bisa kita simpulkan bahwa Malik telah melakukan Kudeta Garis Kepemimpinan
Banyak orang yang lupa atau tidak mengetahui bahwa (alm.) Tgk. Hasan M. di Tiro telah membentuk Majelis Negara dan menandatangani dekrit pada tanggal 17 Maret 1979, sesaat sebelum beliau berangkat keluar negeri. Dekrit tersebut menegaskan bahwa dalam kondisi Wali Negara yang absen, misalnya karena sakit atau keluar negeri, maka Pemerintahan dijalankan oleh Majelis Menteri (Council of Ministers), yang dikepalai oleh Perdana Menteri dengan beberapa orang Wakil Perdana Menteri. Dalam kondisi absen tetap, seperti kematian, maka kepemimpinan digantikan secara berturut-turut sesuai dengan ranking senioritas yang telah ditentukan sebagai berikut: Perdana Menteri-1 (PM-1): Dr. Mokhtar Y. Hasbi, Wakil PM-1: Tgk. Haji Ilyas Leube, Wakil PM-2: Dr. Husaini Hasan, Wakil PM-3: Dr. Zaini Abdullah, dan Wakil PM-4: Dr. Zubir Mahmud
Urutan ini diatur berdasarkan senioritas kepemimpinan dalam Central Comittee National Liberation Front of Atjeh Sumatra. Hal ini termaktub dalam buku ”The Unfinished Diary of the Tgk. Hasan di Tiro”, edisi 1982 halaman 219. Buku yang sama telah diterbitkan ulang pada tahun 1986 tetapi dengan beberapa perubahan isi dan substansi karena alasan pragmatism dan kepentingan dan justifikasi kekuasaan
Dekrit tersebut juga dikuatkan dan ditandatangani oleh para Madjelis Menteri dalam pertemuan di Jengki Wilajah Peureulak awal tahun 1980, dua bulan setelah Tgk. Hasan berangkat keluar negeri. Pertemuan ini diikuti oleh Dr. Mokhtar Y. Hasbi, Tgk. Hadji Ilyas Leube, Dr. Husaini Hasan, dan Dr. Zubir Mahmud. Sedangkan dr. Zaini Abdullah berada di Wilayah Pidie bersama Tgk. Mohammad Daud Husin. Menteri-menteri lainnya sebagian telah ditangkap seperti Tgk. Mohammad Tahir Husin, atau yang dipenjarakan seperti Tgk Muhammad Lampoih Awe dan sebagian lagi telah ”turun gunung”
Dua menteri yang lain tinggal tetap di Singapura yaitu Malek Mahmud dan abangnya, Amir Mahmud. Para inisiator pembentukan MP-GAM diantaranya adalah Tgk Idris Mahmud (Gubernur Wilayah Peureulak), Tgk. Muhammad Mahmud (Panglima Wilayah Peureulak), Tgk. Abdullah Krueng (Ketua Majelis Orang Tuha di Kuala Lumpur), Tgk. Robert Suryadarma (Panglima Aceh Besar), Tgk. Sulaiman Amin (Panglima Wilajah Batee Iliek) dan sejumlah petinggi lulusan Libya angkatan pertama
Lembaga ini difungsikan sebagai Majelis Pemerintahan Darurat bila pimpinan tertinggi gerakan berada dalam kondisi in-absentia. Disaming itu, inisiatif ini juga merupakan respon atas melemahnya konsolidasi di bawah kepemimpinan Malek Mahmud. Malek telah mengganti secara radikal semua garis kepemimpinan yang sebelumnya ada. Sejumlah dokumen hasil rapat telah dikirimkan ke Markas Besar GAM di Eropa untuk persetujuan lebih lanjut. Markas Besar membahas dokumen-dokumen tersebut dan memutuskan untuk mendukung keberadaan Majelis
Restu dari MB ini meninggalkan ketidakpuasan di lingkaran kepemimpinan Malik Mahmud yang bermuara pada pembunuhan Tgk. Haji Usman Pasi, Tgk. Abdul Wahab dan Teuku Don Zulfahri. Lebih jauh dari itu, MP-GAM difitnah sebagai agen Jakarta, yang bekerjasama dengan pemerintah Republik Indonesia dan sepakat menerima otonomi untuk Aceh. Tak ayal, fitnah ini pun berkelanjutan sehingga timbul ancaman dan pengkambing-hitaman untuk setiap kegagalan perjuangan GAM
Namun hari ini, rakyat bisa menilai sendiri, siapa sebenarnya yang menerima otonomi Aceh? Atau siapa mengkhianati Proklamasi 1976, serta membubarkan Gerakan Perlawanan?
Sementara Gerakan yang dipandu oleh Malek Mahmud dan Zaini Abdullah juga telah dibubarkan dan diganti dengan Partai Aceh (PA) yang hari ini sedang disibukkan dengan beberapa agenda pragmatis, seperti merebut kursi Gubernur
Besar harapan, tulisan singkat ini bermanfaat bagi generasi muda Aceh, terutama dalam melihat sejarah Aceh secara objektif dan bebas dari fitnah-fitnah kelompok yang berkepentingan. Sebagai salah seorang pelaku sejarah, saya merasa hal ini perlu diluruskan agar-cita-cita meraih kedaulatan sebagai bangsa yang berharga diri, serta dalam rangka menwujudkan perdamaian serta keadilan, bisa kita capai bersama-sama. Masih banyak hal yang bisa saya bagikan (sharing) dan perlu kita diskusikan lebih jauh, berdasarkan data dan fakta yang ada. Kepada Allah juga kita memohon ampunan-Nya.
Beberapa pejuang Atjeh merdeka tahun 70an meminta saya untuk menyampaikan siapa sesungguhnya Malik Mahmud yang disebut-sebut sebagai Meuntroe Malek. Tanpa bermaksud menyebarkan gossip apalagi fitnah keji, namun karena niat baik dan tulus demi generasi muda Aceh yang akan datang dan demi konsistensi sikap para pejuang tua AM maka saya menyampaikan fakta-fakta sesuai pengalaman hidup yang saya ketahui selama ini
Malik Mahmud selama ini menggelari dirinya sebagai Meuntroe Malek bahkan dalam draft qanun Wali nanggroe yang dirancang oleh sebagian besar anak-anak Partai Aceh menempatkan Malik Mahmud sebagai Perdana Menteri dan setelah wafatnya Yang Mulia Paduka Hasan Tiro maka Malik Mahmud bersiap untuk menggantikannya. Padahal sesungguhnya nama sebenarnya adalah Khila Bin Mahmud alias Malik Haytar Bin Mahmud. Dia tinggal bersama Ibunya di Singapura, tidak berapa fasih berbahasa Aceh. Ayahnya keturunan India yang lahir di Aceh. Dulu dia tukang tenteng (bawa) tas Hasan Tiro. Dia menjadi dalang pengutipan dana dari buruh-buruh kontrak warga Aceh di Malaysia sejak tahun 1985. Dia juga yang menjadi dalang terjadinya peristiwa Semenyih (Malaysia) pada tahun 1997 yang mengorbankan puluhan warga Aceh. Semenjak sakitnya Wali negara Hasan Tiro pada tahun 1997, maka praktis komando GAM berada di tangannya
Gerak langkah GAM di bawah pimpinan Malik Mahmud (MM) sangat jauh berbeda dengan GAM yang kami pimpin pada permulaannya (saya dan Hasan Tiro maupun pejuang AM lainnya). Meskipun nama MM telah dicantumkan sebagai Menteri Negara di tahun 1976, tetapi yang membuat MM berpengaruh di dalam GAM dimulai di tahun 1987, di saat ia mendapat tugas untuk merekrut anak-anak muda dari Aceh dan dari Malaysia untuk dilatih di Libya dan dari Libya dipulangkan ke Aceh. Semua mereka ini sebelum pulang ke Aceh juga harus melalui MM. Semua pemuda latihan Libya hanya mengenal MM sebagai pemimpin AM, tidak tahu menahu seluk beluk ideologi AM apatah lagi sejarah Pra AM. Tidaklah heran kalau garis perjuangan TNA di bawah MM berbeda daripada dari tujuan semula. Secara garis besarnya GAM MM memisahkan diri dari rakyat. Mereka menunjukkan dirinya sebagai penguasa dan mendikte rakyat
Siapa yang membangkang langsung ditindak. Hanya ada dua pilihan, yaitu: jalankan perintah atau bayar pajak yang ditetapkan atau anakmu yatim, kehilangan bapaknya. Bukan saja kepada rakyat, bahkan kepada rekan seperjuangan yang berlainan pendapat langsung digeser, difitnah dan tidak sedikit yang dihukum mati. Contoh rekan seperjuangan yang saya maksud: T. Don Zulfahri, Tgk. Haji Usman, Tgk. Abdul Wahab, Tgk. Abdullah Shafii dll. Guraa Rahman difitnah dan diperangkap hingga dimasukkan ke dalam penjara Malaysia. Tgk. Daud Husin difitnah dan dicopot dari jabatannya serta diperintah bunuh. Besar dugaan pembunuhan Djafar Siddik SH, Prof. Safwan Idris, dan Prof. Dr. Dayan Daud pun ada sangkut-pautnya dengan perebutan kuasa di kalangan masyarakat Aceh dan dalam usaha pembersihan lawan politik MM
Latar belakang MM yang kurang jelas dan dasar pendidikan yang belum dapat dibuktikan menjadikan MM dinilai oleh para pejuang tua AM tidak layak menempati posisinya seperti sekarang. Meskipun kami, tidak begitu dekat macam dia dengan para anak muda GAM yang sekarang banyak direkrut olehnya sejak dulu. Oleh karenanya, kami berniat mengungkap fakta-fakta ini dalam forum yang entah kredibel, pantas atau tidak seraya berharap para pemuda Aceh tetap waspada atas semua bujuk rayu dan hasutan yang bermuatan kepentingan pribadi orang-orang yang “mengaku” sebagai pejuang Aceh
Semoga Aceh tetap selalu berada di bawah lindungan Nya dari orang-orang jahat dan terkutuk. Insyaallah.
Dr. Husaini Hasan
Penulis adalah Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976
sumber: http://www.acehshimbun.com